Mari Mengenal Lebih Dekat Siapa Sunan Bonang Itu
Mari Mengenal Lebih Dekat Siapa Sunan Bonang Itu - Dari beragam sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya merupakan Syekh Maulana Makhdum Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering dinamakan Nyai Ageng Manila. Ada yang mengemukakan Dewi Condrowati itu ialah putri Prabu Kertabumi ada pula yang berbicara bahwa Dewi Condrowati merupakan putri angkat Adipati Tuban yang telah beragama Islam yakni Ario Tejo.
Beliau anak Sunan Ampel, yang berarti serta cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya yaitu Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang wanita bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.
Sunan Bonang mencari ilmu agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Sesudah lumayan dewasa, dia berkelana untuk berdakwah di bermacam macam pelosok Pulau Jawa. Perdana beliau berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana beliau mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Beliau selanjutnya menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, jateng -sekitar 15 kilo meter timur kota Rembang. Di desa itu dia membangun ruang pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Watu Layar. Dia selanjutnya dikenal juga juga sebagai imam resmi perdana Kesultanan Demak, dan bahkan pernah jadi panglima teratas. Biarpun begitu, Sunan Bonang tidak sempat menghentikan kebiasaannya buat berkelana ke daerah-daerah yang amat sangat susah.
Beliau acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura ataupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M beliau wafat. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, sesudah pernah diperebutkan oleh warga Bawean dan Tuban.
Juga Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se-tanah Jawa ,pasti saja Sunan Ampel memiliki ilmu yang amat tinggi.
Sejak mungil, Raden Makdum Ibrahim telah dikasih pelajaran agama Islam dengan cara tekun dan patuh aturan . Telah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari terhadap orang awam. Raden Makdum Ibrahim merupakan calon Wali yang besar , sehingga Sunan Ampel sejak dini pun mempersiapkan sebaik barangkali . Disebutkan dari beraneka literature bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku selagi masihlah remaja melanjutkan pelajaran agama Islam sampai ke Tanah seberang ,ialah Negara Pasai .
Keduanya menambah wawasan terhadap Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, pun menuntut ilmu terhadap para ulama besar yang tidak sedikit menetap di Negeri Pasai .Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir , Arab dan Persi atau Iran. Setelah menggali ilmu di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang KeJawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri maka populer yang merupakan Sunan Giri .
Sedang Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah DiTuban. Dalam berdakwa Raden Makdum Ibrahim ini tidak jarang mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yakni berupa seperangkat gamelan yang dinamakan Bonang Bonang merupakan sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya . Apabila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak sehingga timbullah suaranya yang merdu ditelinga masyarakat setempat . Lebih –lebih jika Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan sarana musik itu, ia ialah seseorang Wali yang memiliki cita rasa seni yang tinggi, maka ia bunyikan pengaruhnya amat sangat hebat bagi para pendengarnya .
Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, tentu tidak sedikit masyarakat yang datang mau mendengarkannya . Dan banyak dari mereka yang mau mempelajari membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang – tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran.Sesudah rakyat sukses direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam pada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim yaitu tembang yang berisikan ajaran agama Islam.Maka tidak dengan terasa masyarakat telah menuntut ilmu agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.
Diantara tembang yang terkenal ialah :
Tamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur'an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe
Menurut tembang ini, ada lima macam ''penawar hati'', atau pengobat jiwa yang ''sakit''. Yaitu membaca Al-Quran, mengerjakan salat tahajud, bersahabat bersama orang saleh, berzikir, dan hidup prihatin. Inilah serta yang tidak jarang dilantunkan Emha Ainun Nadjib dengan Group Kyai Kanjeng, dalam banyaknya pergelarannya.
diluar acara Emha, Tamba Ati sampai sekarang masih kerap dinyanyikan banyaknya santri di pesantren dan masjid di jumlahnya desa. Tetapi Cak Nun --demikian Emha biasa disapa-- bukan pencipta ''lagu'' itu. Tembang ini ialah peninggalan Raden Maulana Makdum Ibrahim, yang lebih dikenal yang merupakan Sunan Bonang.
Terhadap musim hidupnya, Sunan Bonang menyanyikan Tamba Ati buat menarik masyarakat penduduk biar memeluk Islam. Pada dikala berdendang, cowok yang diduga berumur 60 tahun itu menabuh gamelan dari kuningan, yang dibuat oleh jumlahnya masyarakat Desa Bonang, jatim. Nama desa inilah yang selanjutnya melekat kepada gelar sang Sunan.
Walau terampil, Sunan Bonang bukan putra penabuh gamelan. Dirinya justru putra Sunan Ampel, yang menikah bersama Condrowati, alias Nyai Ageng Manila. Nyai Ageng adalah anak angkat Ario Tedjo, Bupati Tuban. Tak ada catatan tentang tanggal kelahiran Raden Makdum. Diduga, beliau lahir di daerah Bonang, Tuban, pada 1465.
Sunan Ampel semula berikan beliau nama Maulana Makdum. Nama ini diambil dari bahasa Hindi, yang bermakna cendekiawan Islam yang dihormati sebab kedudukannya dalam agama. Semasa kecil, Sunan Bonang telah mendapat pelajaran dari ayahnya, Sunan Ampel, dengan patuh aturan yang ketat. Tidak heran seandainya beliau serta, setelah itu, terhisab ke dalam Wali nan Sembilan.
Sunan Ampel selanjutnya mengirim Sunan Bonang ke Negara Pasai, Aceh periode saat ini. Di sana Sunan Bonang menuntut ilmu terhadap Syekh Awwalul Islam, ayah kandung Raden Paku alias Sunan Giri. Dengan Raden Paku, beliau pun menggali ilmu kepada sebanyak ulama besar yang tidak sedikit menetap dan mengajar di Pasai, seperti ulama ahli tasawuf dari Baghdad, Mesir, dan Iran.
Pulang dari menuntut ilmu, Sunan Bonang diminta Sunan Ampel berdakwah di Tuban, Pati, Pulau Madura, dan Pulau Bawean di utara Pulau Jawa. Seperti halnya Raden Paku alias Sunan Giri, yang mendirikan pesantren di Gresik, Sunan Bonang serta mendirikan pesantren di Tuban.
Dalam berdakwah, Sunan Bonang kerap memakai kesenian rakyat buat menarik simpati penduduk, antara lain bersama seperangkat gamelan Bonang. Apabila dipukul dengan kayu lunak, bonang itu melantunkan bunyi yang merdu. Seandainya Sunan Bonang sendiri yang menabuhnya, gaung sang bonang amat menyentuh hati para pendengarnya.
Warga yang mendengarnya berbondong-bondong datang ke masjid. Sunan Bonang dulu menerjemahkan makna tembangnya. Sebab kemampuan suaranya itu serta, Sunan Bonang pun mendapat julukan lain : Sang Mahamuni. Tembang itu berisi ajaran Islam, maka tidak dengan sengaja mereka sudah dikasih penghayatan baru.
Kepada musim itu, daerah Bonang masihlah berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, yang mayoritas --dan ''resmi''-- beragama Hindu. Kebetulan, para penganut Hindu kala itu amat akrab dengan musik gamelan. Pengaruh gendingnya pass melegenda. Bahkan gamelan itu sudah jadi bidang dari narasi kesaktian Sunan Bonang.
Contohnya dikisahkan, beliau sempat menaklukkan Kebondanu, seseorang pemimpin perampok, dan anak buahnya, cuma memakai tembang dan gending Dharma dan Mocopat. Demikian gending ditabuh, Kebondanu dan anak buahnya tak bisa menggerakkan tubuhnya. ''Ampun... hentikan bunyi gamelan itu. Kami tidak kuat,'' demikian konon kata Kebondanu.
Sesudah diminta bertobat, Kebondanu dan gerombolannya serta jadi pengikut Sunan Bonang. Tetapi, kesaktian Sunan Bonang tidak cuma terletak kepada gamelan dan gaungnya. Narasi lain mengisahkan seseorang brahmana, yang berlayar dari India ke Tuban. Tujuannya : mau mengadu kesaktian dengan Sunan Bonang.
Tetapi, sebelum mendarat di Tuban, kapalnya dihajar ombak. Akibatnya, kitab-kitab kesaktiannya hanyut terbawa air. Beruntung, sang brahmana sukses mencapai pantai. Di tepian laut itu dia bertemu dengan seseorang laki-laki berjubah putih. Pada laki laki itu dia menyebut mau bertemu dengan Sunan Bonang buat uji kesaktian.
Tetapi, begitu jelasnya, beliau tidak lagi dapat melakukannya, dikarenakan seluruh kitabnya telah raib di telan ombak. Cowok berjubah itu mencabut tongkatnya yang tertancap di pasir pantai. Air muncrat dari lobang secon tongkat itu... bersama seluruh kitab sang brahmana. Sesudah laki-laki tadi menyatakan namanya, yang tak ada lain daripada Sunan Bonang, Brahmana itu berlutut.
Terhadap periode hidupnya, Sunan Bonang termasuk juga penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut mempermudah mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh penduduk Demak kala itu, beliau dikenal sebagai pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung juga sebagai panglima tentara Islam Demak.
Dikala Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang serta yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima perang. Nasihat yang bernilai diberikan juga terhadap Sunan Kudus berkenaan strategi perang menghadapi Majapahit. Terkecuali itu, Sunan Bonang diliat adil dalam menciptakan ketetapan yang memuaskan tidak sedikit orang, lewat sidang-sidang ''pengadilan'' yang dipimpinnya.
Contohnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Ruangan ''pengadilan'' itu sendiri miliki dua version. Satu version mengemukakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung Kasepuhan, Cirebon. Namun, version lain menyatakan, sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak. Sunan Bonang serta berperan dalam pengangkatan Raden Patah.
Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan banyaknya kitab, antara lain Ihya Ulumuddin dari Al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari Dawud Al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama : tasawuf, ussuludin, dan fikih.
Ajaran tasawuf, contohnya, menurut version Sunan Bonang jadi utama lantaran menunjukkan macam mana orang Islam menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaannya terhadap Allah. Para penganut Islam mesti menjalankan, contohnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat. diluar itu, manusia mesti menjauhi tiga musuh mutlak : dunia, udara nafsu, dan setan.
Buat menghindari ketiga ''musuh'' itu, manusia dianjurkan janganlah tidak sedikit berkata, bersikap rendah hati, tak enteng putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, orang mesti menjauhi sikap dengki, angkuh, serakah, juga gila pangkat dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke, naskah ajaran Sunan Bonang ialah naskah Wali Songo yang relatif lebih kumplit.
Ajaran wali lainnya tidak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tidak demikian kumplit. Di situ disebutkan serta bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran pada Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.
Sunan Bonang meninggal di Pulau Bawean, pada 1525. Kala dapat dimakamkan, ada perebutan antara penduduk Bawean dan penduduk Bonang, Tuban. Penduduk Bawean mau Sunan Bonang dimakamkan di pulau mereka, dikarenakan sang Sunan pernah berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tapi, penduduk Tuban tak ingin terima. Terhadap tengah malam sesudah kematiannya, jumlahnya murid dari Bonang mengendap ke Bawean, ''mencuri'' jenazah sang Sunan.
Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang konsisten ada, baik di Bonang ataupun di Bawean! Lantaran itu, hingga kini, makam Sunan Bonang ada di dua ruang. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Gede Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Sekarang Ini kuburan itu dikitari tembok bersama tiga lapis halaman. Tiap-tiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang.
Adalagi legenda aneh menyangkut Sunan Bonang .
Selagi ia meninggal, jenasahnya hendak dipindah ke Surabaya buat dimakamkan di samping Sunan Ampel adalah ayahandanya .Tapi kapal yang dipakai mengangkut jenazahnya tak dapat bergerak maka terpaksa jenazahnya Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yakni di sebelah barat Masjid Jami ’Tuban..
Beliau anak Sunan Ampel, yang berarti serta cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya yaitu Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang wanita bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.
Sunan Bonang mencari ilmu agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Sesudah lumayan dewasa, dia berkelana untuk berdakwah di bermacam macam pelosok Pulau Jawa. Perdana beliau berdakwah di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana beliau mendirikan Masjid Sangkal Daha.
Beliau selanjutnya menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, jateng -sekitar 15 kilo meter timur kota Rembang. Di desa itu dia membangun ruang pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Watu Layar. Dia selanjutnya dikenal juga juga sebagai imam resmi perdana Kesultanan Demak, dan bahkan pernah jadi panglima teratas. Biarpun begitu, Sunan Bonang tidak sempat menghentikan kebiasaannya buat berkelana ke daerah-daerah yang amat sangat susah.
Beliau acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura ataupun Pulau Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M beliau wafat. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, sesudah pernah diperebutkan oleh warga Bawean dan Tuban.
Juga Sebagai seorang Wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se-tanah Jawa ,pasti saja Sunan Ampel memiliki ilmu yang amat tinggi.
Sejak mungil, Raden Makdum Ibrahim telah dikasih pelajaran agama Islam dengan cara tekun dan patuh aturan . Telah bukan rahasia lagi bahwa latihan atau riadha para Wali itu lebih berat dari terhadap orang awam. Raden Makdum Ibrahim merupakan calon Wali yang besar , sehingga Sunan Ampel sejak dini pun mempersiapkan sebaik barangkali . Disebutkan dari beraneka literature bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku selagi masihlah remaja melanjutkan pelajaran agama Islam sampai ke Tanah seberang ,ialah Negara Pasai .
Keduanya menambah wawasan terhadap Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, pun menuntut ilmu terhadap para ulama besar yang tidak sedikit menetap di Negeri Pasai .Seperti ulama ahli tasawuf yang berasal dari Bagdad, Mesir , Arab dan Persi atau Iran. Setelah menggali ilmu di Negeri Pasai, Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang KeJawa. Raden Paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri maka populer yang merupakan Sunan Giri .
Sedang Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah DiTuban. Dalam berdakwa Raden Makdum Ibrahim ini tidak jarang mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yakni berupa seperangkat gamelan yang dinamakan Bonang Bonang merupakan sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya . Apabila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak sehingga timbullah suaranya yang merdu ditelinga masyarakat setempat . Lebih –lebih jika Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan sarana musik itu, ia ialah seseorang Wali yang memiliki cita rasa seni yang tinggi, maka ia bunyikan pengaruhnya amat sangat hebat bagi para pendengarnya .
Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang, tentu tidak sedikit masyarakat yang datang mau mendengarkannya . Dan banyak dari mereka yang mau mempelajari membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang – tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran.Sesudah rakyat sukses direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran Islam pada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim yaitu tembang yang berisikan ajaran agama Islam.Maka tidak dengan terasa masyarakat telah menuntut ilmu agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan.
Diantara tembang yang terkenal ialah :
Tamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur'an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe
Menurut tembang ini, ada lima macam ''penawar hati'', atau pengobat jiwa yang ''sakit''. Yaitu membaca Al-Quran, mengerjakan salat tahajud, bersahabat bersama orang saleh, berzikir, dan hidup prihatin. Inilah serta yang tidak jarang dilantunkan Emha Ainun Nadjib dengan Group Kyai Kanjeng, dalam banyaknya pergelarannya.
diluar acara Emha, Tamba Ati sampai sekarang masih kerap dinyanyikan banyaknya santri di pesantren dan masjid di jumlahnya desa. Tetapi Cak Nun --demikian Emha biasa disapa-- bukan pencipta ''lagu'' itu. Tembang ini ialah peninggalan Raden Maulana Makdum Ibrahim, yang lebih dikenal yang merupakan Sunan Bonang.
Terhadap musim hidupnya, Sunan Bonang menyanyikan Tamba Ati buat menarik masyarakat penduduk biar memeluk Islam. Pada dikala berdendang, cowok yang diduga berumur 60 tahun itu menabuh gamelan dari kuningan, yang dibuat oleh jumlahnya masyarakat Desa Bonang, jatim. Nama desa inilah yang selanjutnya melekat kepada gelar sang Sunan.
Walau terampil, Sunan Bonang bukan putra penabuh gamelan. Dirinya justru putra Sunan Ampel, yang menikah bersama Condrowati, alias Nyai Ageng Manila. Nyai Ageng adalah anak angkat Ario Tedjo, Bupati Tuban. Tak ada catatan tentang tanggal kelahiran Raden Makdum. Diduga, beliau lahir di daerah Bonang, Tuban, pada 1465.
Sunan Ampel semula berikan beliau nama Maulana Makdum. Nama ini diambil dari bahasa Hindi, yang bermakna cendekiawan Islam yang dihormati sebab kedudukannya dalam agama. Semasa kecil, Sunan Bonang telah mendapat pelajaran dari ayahnya, Sunan Ampel, dengan patuh aturan yang ketat. Tidak heran seandainya beliau serta, setelah itu, terhisab ke dalam Wali nan Sembilan.
Sunan Ampel selanjutnya mengirim Sunan Bonang ke Negara Pasai, Aceh periode saat ini. Di sana Sunan Bonang menuntut ilmu terhadap Syekh Awwalul Islam, ayah kandung Raden Paku alias Sunan Giri. Dengan Raden Paku, beliau pun menggali ilmu kepada sebanyak ulama besar yang tidak sedikit menetap dan mengajar di Pasai, seperti ulama ahli tasawuf dari Baghdad, Mesir, dan Iran.
Pulang dari menuntut ilmu, Sunan Bonang diminta Sunan Ampel berdakwah di Tuban, Pati, Pulau Madura, dan Pulau Bawean di utara Pulau Jawa. Seperti halnya Raden Paku alias Sunan Giri, yang mendirikan pesantren di Gresik, Sunan Bonang serta mendirikan pesantren di Tuban.
Dalam berdakwah, Sunan Bonang kerap memakai kesenian rakyat buat menarik simpati penduduk, antara lain bersama seperangkat gamelan Bonang. Apabila dipukul dengan kayu lunak, bonang itu melantunkan bunyi yang merdu. Seandainya Sunan Bonang sendiri yang menabuhnya, gaung sang bonang amat menyentuh hati para pendengarnya.
Warga yang mendengarnya berbondong-bondong datang ke masjid. Sunan Bonang dulu menerjemahkan makna tembangnya. Sebab kemampuan suaranya itu serta, Sunan Bonang pun mendapat julukan lain : Sang Mahamuni. Tembang itu berisi ajaran Islam, maka tidak dengan sengaja mereka sudah dikasih penghayatan baru.
Kepada musim itu, daerah Bonang masihlah berada dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, yang mayoritas --dan ''resmi''-- beragama Hindu. Kebetulan, para penganut Hindu kala itu amat akrab dengan musik gamelan. Pengaruh gendingnya pass melegenda. Bahkan gamelan itu sudah jadi bidang dari narasi kesaktian Sunan Bonang.
Contohnya dikisahkan, beliau sempat menaklukkan Kebondanu, seseorang pemimpin perampok, dan anak buahnya, cuma memakai tembang dan gending Dharma dan Mocopat. Demikian gending ditabuh, Kebondanu dan anak buahnya tak bisa menggerakkan tubuhnya. ''Ampun... hentikan bunyi gamelan itu. Kami tidak kuat,'' demikian konon kata Kebondanu.
Sesudah diminta bertobat, Kebondanu dan gerombolannya serta jadi pengikut Sunan Bonang. Tetapi, kesaktian Sunan Bonang tidak cuma terletak kepada gamelan dan gaungnya. Narasi lain mengisahkan seseorang brahmana, yang berlayar dari India ke Tuban. Tujuannya : mau mengadu kesaktian dengan Sunan Bonang.
Tetapi, sebelum mendarat di Tuban, kapalnya dihajar ombak. Akibatnya, kitab-kitab kesaktiannya hanyut terbawa air. Beruntung, sang brahmana sukses mencapai pantai. Di tepian laut itu dia bertemu dengan seseorang laki-laki berjubah putih. Pada laki laki itu dia menyebut mau bertemu dengan Sunan Bonang buat uji kesaktian.
Tetapi, begitu jelasnya, beliau tidak lagi dapat melakukannya, dikarenakan seluruh kitabnya telah raib di telan ombak. Cowok berjubah itu mencabut tongkatnya yang tertancap di pasir pantai. Air muncrat dari lobang secon tongkat itu... bersama seluruh kitab sang brahmana. Sesudah laki-laki tadi menyatakan namanya, yang tak ada lain daripada Sunan Bonang, Brahmana itu berlutut.
Terhadap periode hidupnya, Sunan Bonang termasuk juga penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut mempermudah mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh penduduk Demak kala itu, beliau dikenal sebagai pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung juga sebagai panglima tentara Islam Demak.
Dikala Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang serta yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima perang. Nasihat yang bernilai diberikan juga terhadap Sunan Kudus berkenaan strategi perang menghadapi Majapahit. Terkecuali itu, Sunan Bonang diliat adil dalam menciptakan ketetapan yang memuaskan tidak sedikit orang, lewat sidang-sidang ''pengadilan'' yang dipimpinnya.
Contohnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Ruangan ''pengadilan'' itu sendiri miliki dua version. Satu version mengemukakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung Kasepuhan, Cirebon. Namun, version lain menyatakan, sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak. Sunan Bonang serta berperan dalam pengangkatan Raden Patah.
Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan banyaknya kitab, antara lain Ihya Ulumuddin dari Al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari Dawud Al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama : tasawuf, ussuludin, dan fikih.
Ajaran tasawuf, contohnya, menurut version Sunan Bonang jadi utama lantaran menunjukkan macam mana orang Islam menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaannya terhadap Allah. Para penganut Islam mesti menjalankan, contohnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat. diluar itu, manusia mesti menjauhi tiga musuh mutlak : dunia, udara nafsu, dan setan.
Buat menghindari ketiga ''musuh'' itu, manusia dianjurkan janganlah tidak sedikit berkata, bersikap rendah hati, tak enteng putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, orang mesti menjauhi sikap dengki, angkuh, serakah, juga gila pangkat dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke, naskah ajaran Sunan Bonang ialah naskah Wali Songo yang relatif lebih kumplit.
Ajaran wali lainnya tidak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tidak demikian kumplit. Di situ disebutkan serta bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran pada Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.
Sunan Bonang meninggal di Pulau Bawean, pada 1525. Kala dapat dimakamkan, ada perebutan antara penduduk Bawean dan penduduk Bonang, Tuban. Penduduk Bawean mau Sunan Bonang dimakamkan di pulau mereka, dikarenakan sang Sunan pernah berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tapi, penduduk Tuban tak ingin terima. Terhadap tengah malam sesudah kematiannya, jumlahnya murid dari Bonang mengendap ke Bawean, ''mencuri'' jenazah sang Sunan.
Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang konsisten ada, baik di Bonang ataupun di Bawean! Lantaran itu, hingga kini, makam Sunan Bonang ada di dua ruang. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Gede Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Sekarang Ini kuburan itu dikitari tembok bersama tiga lapis halaman. Tiap-tiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang.
Adalagi legenda aneh menyangkut Sunan Bonang .
Selagi ia meninggal, jenasahnya hendak dipindah ke Surabaya buat dimakamkan di samping Sunan Ampel adalah ayahandanya .Tapi kapal yang dipakai mengangkut jenazahnya tak dapat bergerak maka terpaksa jenazahnya Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yakni di sebelah barat Masjid Jami ’Tuban..